Sejarah membuktikan
bahwa perkembangan filsafat di dunia Islam terinspirasi dari pemikiran para
filosof Yunani yang telah mendominasi ranah intelektual manusia jauh sebelum
agama Islam diturunkan. Secara umum, pemikiran para filosof muslim merupakan
sintesa sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan
Neo-Platonisme baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria (Nashr,
1964:411).
Sintesa yang dilakukan
pada dasarnya bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan
ajaran Islam. Upaya untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan
agama diawali oleh al-Kindî. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar
(knowlwdge of truth) dan agama juga diwahyukan untuk menyampaikan
kebenaran. Oleh karena filsafat dan agama menjadikan kebenaran sebagai tujuan,
maka keduanya tidak mungkin bertentangan antara satu dengan lainnya.
Harmonisasi antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh
al-Farâbî dan Ibn Sînâ. Keduanya cenderung mengikuti aliran
Neo-Platonisme yang banyak diminati pada waktu itu. Pemikiran Neo-Platonisme
yang mewarnai pemikiran kedua filosof ini adalah mengenai teori
emanasi. Filsafat emanasi yang dikembangkan oleh kedua filosof muslim
tersebut memberikan dampak yang cukup luas di kalangan filosof muslim yang
muncul kemudian.
Usaha untuk mencari
relasi filsafat dengan agama ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn Farabî dan
para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain
dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof
itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat)
yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan
tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai
penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat
al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat
al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini
adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di
antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani
sampai masa Aristoteles (al-Taftazânî, 1983:195).
I.
BIOGRAFI
Nama lengkapnya, Syaikh Syihab al-Din
Abu al-Futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi, ia dilahirkan di Kota
Suhraward, Iran Barat Laut, pada tahun 548 H/1153 M. ia dikenal dengan Syaikh
al-Isyraq atau Master of Illuminasionist (bapak pencerahan), Al-Hakim
(Orang yang Bijak), Al-Syahid (sang Martir). Dan al-Maqtul (yang
terbunuh).
Ia belajar di Maragha (kelak menjadi
lokasi aktivitas astronomi al-Thusi), dan juga di Isfahan, belajar Filsafat
kepada Majid Kili. Kemudian, ia pergi ke Isfahan untuk memperdalam kajian
filsafat kepada Fakhr al-Din al-Mardini (w. 594/1198). Setelah itu belajar
kepada Zhahir al-Din al-Qari al-Farsi mengkaji kitab al-Bashair
al-Nashiriyah karangan Umar Ibn Sahlan al-Sawi, yang juga dikenal sebagai
komentator Risalah al-Thair karangan Ibnu Sina. Dalam pengembaraannya,
Suhrawardi banyak bergaul dengan kalangan Sufi dan menjalani kehidupan Zahid
(menjauhi dunia), sambil memperdalam ajaran-ajaran Tasawuf.
Pada akhirnya ia menetap di Aleppo
atas undangan Pangeran Al-Malik al-Zahir, seorang putera Sultan Shalah al-Din
yang tertarik dengan pikiran-pikiran Suhrawardi yang membangun perspektif
filosofis besar kedua dalam islam, yakni aliran illuminasionis yang menjadi
tandingan aliran peripatetic yang telah mendahuluinya. Keberhasilan
Suhrawardi melahirkan aliran illuminasionis ini berkat penguasaannya yang
mendalam tentang filsafat dan tasawuf di tambah dengan kecerdasannya yang
tinggi, terbukti ia dikalangan teman seangkatannya dikenal sebagai pemikir di
dunia islam yang “tak tertandingi” di kala itu. Namun kepiawaiannya
mengeluarkan pernyataan doktrin esoteris yang tandas, dan kritikan tajam
terhadap ahli-ahli Fiqh menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu Barakat
al-Baghdadi yang anti-Aristotelian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M atas
desakan Fuqaha kepada Pangeran Malik al-Zahir Syah (putra dari Sultan
Shalahuddin al-Ayyubi al-Kurdi) Suhrawardi diseret ke penjara, dan
menghantarkan kematiannya di usia 38 tahun.
II.
KARYA-KARYANYA
Suhrawardi
telah menulis tidak kurang dari 50 karya Filsafat dan gnostik dalam bahasa Arab
dan Parsia. Seyyed Hossein Nasr mengelompokkan karya-karya Suhrawardi kedalam
lima bagian, yaitu :
Berisi
pengajaran dan kaedah teosofi yang merupakan penafsiran dan modifikasi terhadap
filsafat peripatetic. Ada empat buku tentang hal ini yang ditulis dalam bahasa
Arab, yaitu;
·
Talwihat
(The book of Intimations)
·
Muqawamat
(The Book of Oppositions)
·
Muthaharat
(The Book of Conservations)
·
Hikmat
al-Isyraq (The Theosophy of the Orient of Light)
Karangan
pendek tentang filsafat, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan gaya
bahasa yang disederhanakan, yaitu;
·
Hayakil
an-Nur (The Temples of Light)
·
Al-Alwah
al-‘Imadiyah (Tablets Dedicated to ‘Imaduddin)
·
Yazdan
Syinakht (The Knowledge of God)
·
Fi
I’tiqadad al-HUkama’ (Symbol of Faith of the Philosophers)
·
Al-Lamahat
(The Flashes of Light)
·
Bustan
al-Qulub (The Garden of the Heart)
·
Partaw-namah
(Treatis on Illumination)
Karangan
pendek yang bermuatan dan berlambang mistis, pada umumnya ditulis dalam bahasa
Persia, meliputi;
·
’Aqli Surkh (The Red Archangel atau Literally
Intellect)
·
Awaz-I
Par-I Jibra’il (The Chant of the Wing of Gabriel)
·
Al-Ghurbat
al-Gharbiyah (The Occidental Exile)
·
Lughta-I
Muran (The Language of Termites)
·
Risalah
fi Halat al-Thifuliyah (Treatise on the State of Childhood)
·
Ruzi
baJama’at-I Shufiyan (A Day with the Community of Sufi)
·
Risalah
fi al-Mi’raj (Treatise on the Noctural Journey)
·
Syafir-I
Simurgh (The Song of the Griffin)
Komentar dan terjemahan dari filsafat terdahulu dan
ajaran-ajaran keagamaan, seperti;
·
Risalah
at-Thair (The Treatise of the Birds)
·
Komentar terhadap kitab Isyarat karya Ibnu Sina
·
Tulisan dalam Risalah fi Haqiqat al-’Isyqi
·
Sejumlah tafsir al-Qur’an dan Hadits Nabi
Do’a-do’a yang lebih dikenal dengan al-Waridat wa
al-Taqdisat (Doa dan Penyucian)
III.
FILSAFATNYA
Sikap kompromistik
Suhrawardî terhadap agama-agama lain menimbulkan kritik keras di kalangan
pemikir muslim. Bahkan sebagian di antaranya menuduh bahwa Suhrawardî anti
Islam. Penilaian semacam ini tentu saja salah kaprah. Di mata Suhrawardî,
agama-agama lain bukanlah musuh yang harus dijauhi atau dilawan, tetapi adalah
teman yang harus didekati untuk diajak berdialog. Agama-agama lain itu tidak
merusak dan menyimpangkan Islam. Tetapi sebaliknya, agama-agama lain itu dapat
memperkaya pemahaman tentang Islam. Di sinilah terletak universalitas Islam
karena Islam sangat luas dan mencakup agama-agama lain dalam pengertian
ajaran-ajaran esoteriknya. Kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain
adalah kebijaksanaan perenial dalam Islam. Oleh karena itu, Islam dapat
melakukan dialog yang sejati dengan agama-agama lain tanpa kehilangan identitas
dirinya.
Di
samping berhasil melakukan dialog dengan berbagai agama, Suhrawardî pun
berhasil mengadakan dialog dengan berbagai pemikiran filsafat, khususnya
filsafat peripatetik yang banyak diikuti oleh para
filosof muslim. Model dialog yang dirancang Suhrawardî adalah berupa kritik
sistemik terhadap sejumlah pemikiran filsafat peripatetik (Nashr, 1968:329).
Sejalan
dengan proses pemikiran Suhrawardî menuju kematangannya, ia pada mulanya
menulis karya-karyanya yang masih bercorak peripatetis yang bertumpu kuat pada
metode diskursif. Suhrawardî menegaskan bahwa karya yang bercorak
peripatetis mesti dikuasai lebih dahulu sebelum mempelajari teosofinya
(Suhrawardî, 1372:10). Dengan instruksi semacam itu, Suhrawardî seakan
merentangkan jalan tahap demi tahap bagi pembaca karya-karyanya untuk sampai
pada puncak karyanya Hikmat al-Isyrâq (The Wisdom of
Illumination).
Melihat
struktur pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisannya, Suhrawardî
sebenarnya sudah memiliki bangunan pemikiran filosofis yang direncanakan secara
matang. Ia menempatkan Hikmat al-Isyrâq sebagai magnum
opus-nya karena hampir semua karya sebelumnya ditujukan untuk mendukung
substansi Hikmat al-Isyrâq. Sehingga peminat Suhrawardî
dapat dengan mudah merujuk pada karya-karya sebelumnya bila ingin mengetahui
pemikirannya secara mendetail. Artinya, dengan mengkaji Hikmat
al-Isyrâq seseorang dapat mengetahui pemikiran menyeluruh mazhab Suhrawardî
(Rayyan, 1966:66-67).
Suhrawardi menggunakan
istilah-istilah atau lambang yang berbeda dari kebanyakan orang-orang pahami,
seperti Barzah, tidak berkaitan dengan persoalan kematian. Akan tetapi
istilah ini adalah ungkapan pemisah antara dunia cahaya dengan dunia kegelapan.
Timur (Masyriq) dan Barat (Maghrib), juga tidak berhubungan dengan letak geografis,
tetapi berlandaskan pada penglihatan horozontal yang memanjang dari Timur
ke Barat. Jadi, makna Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya atau
Dunia Malaikat yang bebas dari kegelapan dan materi duniawi, sedangkan Barat
adalah Dunia kegelapan atau materi duniawiBarat tengah adalah
langit-langit yang menampakkan pembauran antara cahaya dengan sedikit
kegelapan. Timur yang sebenarnya
ialah apa yang ada dibalik langit yang terlihat dan yang di atasnya.
Uraian
yang dipaparkan di atas menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî
dibandingkan dengan para filosof teosofi muslim lainnya. Harmonisasi filsafat
lintas agama dan lintas aliran pemikiran yang dipeloporinya menunjukkan sikap
objektif dan bebas nilai yang patut dicontoh oleh setiap pemikir. Meskipun
sarat dengan kritikan dan hujatan, pemikiran Suhrawardî tetap perlu untuk
dikontekstualisasikan terutama untuk menyejukkan suasana keberagamaan manusia
di alam modern saat ini. Di samping itu, rekonstruksi terhadap pemikiran Suhrawardî dapat
dijadikan sebagai sarana untuk memperkuat bangunan pemikiran metafisika
filsafat Barat yang dinilai sedang mengalami krisis spritualitas.
METAFISIKA
DAN CAHAYA
Bagian kedua dari Hikmat
al-Isyrâq mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî yang memuat konsep
metafisikanya. Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi
yang berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq) sebagai media simbolik.
Teosofi adalah modifikasi antara latihan intelektual teoritis melalui filsafat
dan pemurnian hati melalui sufisme (Morewedge, 1992:73). Suhrawardî
mengelaborasi cahaya untuk mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada
tataran epistimologi, teologi, dan ontologi. Pembahasan utama pada bagian
ini meliputi hakikat cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya,
cahaya dominan, pembagian barzâkh (alam kubur), persoalan alam akhirat,
kenabian, dan nasib perjalanan manusia menuju purifikasi jiwa.
Dengan
konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta
merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya
berakhir pada kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan
teosofi berupa perpaduan antara filsafat dan tasawuf. Oleh karena
itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan pelopor konsep kesatuan iluminasi
(wahdat al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî
untuk mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan
wujud (wahdat al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî
(Netton, 1994:258). Gagasan mengenai kesatuan iluminasi yang diajarkan oleh
Suhrawardî merangsang munculnya sikap protes dan anti pati dari kalangan
ahli fiqh (islamic jurisprudence). Karena dianggap sesat dan mendatangkan
keresahan dalam masyarakat, para ahli fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî
serta menjatuhkan hukuman mati (hukuman gantung) kepadanya.
Cahaya yang dimaksudkan oleh
Suhrawardi bersifat immaterial dan tidak bisa didefinisikan, karena sesuatu
yang terang tidak memerlukan definisi. Cahaya adalah entitas yang paling terang
di dunia, bahkan cahaya menembus susunan semua entitas, baik yang bersifat
fisik maupun non-fisik. Karena itu, esensi cahaya adalah manifestasi. Maka itu,
untuk eksistensi dirinya, Cahaya yang pertama tidak mempiunyai penyebab lain
diluar dirinya. Semua yang selain Cahaya utama ini adalah tergantung, dan
mungkin “Yang bukan Cahaya” (kegelapa) bukanlah sesuatu yang khusus yang datang
dari suatu sumber yang mandiri.
Segala sesuatu yang bukan dari
“Cahaya Murni” terdiri dari yang tidak membutuhkan substratum, yang merupakan
substansi gelap. Substansi-substansi gelap ini memiliki sifat, sepeti figure
dan ukuran, yang berasal dari sifat gelap yang inheren dalam substansi gelap.
Sedangkan Cahaya Murni bebas dari kegelapan, jadi begitu saja memahami sendiri
tanpa agen diluar dirinya, sementara setiap tindakan lain dari pemahaman
tergantung padanya. Hubungan antara Cahaya dan Gelap bukan hubungan
pertentangan; tetapi hubungan antara eksistensi dan non-eksistensi. Menegaskan
Cahaya, niscaya menerima peniadaannya sebagai kenyataan, yaitu kegelapan yang
harus diteranginya suapaya ia menjadi dirinya sendiri.
Cahaya Primordial ini merupakan
sumber semua gerak. Tetapi geraknya bukanlah perubahan tempat; hal ini
disebabkan cinta akan penerangan yang membentuk esensinya dan
mendorongnya, seakan-akan, mempercepat hidupnya segala sesuatu dengan
menumpahkan sinarnya sendiri ke dalam kemaujudan mereka. Jumlah penerangan yang
mengalir darinya tidak terbatas. Semua penerangan ini adalah media atau dalam
bahasa Teologi, Malaikat, yang melaluinya segala keanekaragaman tak terbatas
maujud menerima kehidupan dan makanan dari Cahaya Pertama. Cahaya pertama ini
disebut oleh Suhrawardi sebagai Cahaya Segala Cahaya, Cahaya Yang Mandiri,
Cahaya Suci, dan sebagainya. (Nur al-Muhith, Nur al-Qayyum, Nur al-Muqaddas,
Nur al-A’dham al-A’la, Nur al-Qahhar, dan Ghani al-Muthlaq). Sifat pertama
Cahaya Segala Cahya ini adalah Esa.
EPISTEMOLOGI
Secara
umum, sistematika Hikmat al-Isyrâq terbagi ke dalam dua
bagian utama. Bagian pertama mengulas sejumlah kritik terhadap pemikiran
peripatetis terutama terhadap konsep epistemologi. Bagian kedua membahas konsep
cahaya dengan berbagai dimensinya.
Pada
bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka kritik
epistemologi berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan. Dalam kajian
tentang sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke dalam
pengetahuan hushûlî dan hudhûrî. Pengetahuan hushûlî
terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan
memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang
dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai
dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan
merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu
upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat)
secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada
hal-hal yang belum diketahui (Yazdî, 1994:9).
Sedangkan
pengetahuan hudhûrî adalah pengetahuan dengan kehadiran
(observasi ruhani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi
pengetahuan tertinggi berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir)
dan iluminasi. Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan
Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadat,
riyâdhat dan ‘ibâdat daripada memaksimalkan fungsi
rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî lebih menekankan olah dzikir
dari pada olah pikir (Ziai, 1990: 17).
Suhrawardi
membahas secara panjang lebar masalah pengetahuan, pada akhirnya mendasarkannya
pada Iluminasi dan mengusulkan satu teori visi, yang dalam beberapa hal mirip
dengan Psikologi Gestalt. Ia menggabungkan cara nalar dengan intuisi,
menganggap keduanya saling melengkapi. Menurut Suhrawardi, nalar tanpa intuisi
dan iiluminasi adalah kekanak-kanakan, rabun dan tidak pernah bisa mencapai
sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa
penyiapan logika serta latihan dan pengembangan kemampuan rasional bisa
tersesat dan pula tidak akan dapat mengungkapkan dirinya secara ringkas dan
metodis. Jadi tujuan akhir segala bentuk pengetahuan ialah Iluminasi dan
ma’rifat (Gnosis), yang ditempatkan Suhrawardi secara tegas pada puncak
hierarki pengetahuan.
KOSMOLOGI
Segala hal yang “bukan cahaya”
disebut sebagai “Kualitas Mutlak” atau “Materi Mutlak”. Ini hanyalah aspek lain
penegasan atas cahaya dan bukan suatu prinsip mandiri sebagaimana yang secara
salah dianggap oleh para pengikut Aristoteles. Fakta eksperimental transformasi
unsur-unsur primer menjadi satu yang lain, menunjuk kepada materi absolute;
fundamental ini yang dalam berbagai tingkat besarnya, membentuk bermacam
lingkungan materi. Landasan mutlak semua benda dapat dibagi menjadi dua jenis;
1.
Yang
diluar ruang --atom-atom atau substansi tidak terang (esensi-esensi menurut
Kaum As’ari)
2.
Yang
mesti di dalam ruang –bentuk-bentuk kegelapan, misalnya; berat, bau, rasa dan
sebagainya.
Terdapat tiga unsur dasar, yaitu air,
tanah, dan angina. Menurut orang-orang Isyraqi, api hanyalah angina yang
menyala. Paduan unsure-unsur ini, di bawah berbagai pengaruh langit, mengambil
berbagai bentuk, yaitu bentuk cair, gas, padat. Perubahan bentuk unsur-unsur
orisinil ini membentuk proses “Membuat dan Merusak” yang menembus seluruh
lingkup dari yang bukan cahaya, yang menimbulkan bermacam-macam bentuk
eksistensi yang semakin mendekatkan mereka kepada kekuatan-kekuatan penerang.
Semua fenomena alam, yaitu hujan, awan, halilintar, meteor, guntur, adalah
berbagai kerja dari prinsip imanen gerak ini, dan diterangkan oleh operasi
langsung dan tidak langsung oleh Cahaya Pertama. Singkatnya, alam semesta ialah
suatu hasrat yang membantu; suatu kristalisasi kerinduan kepada cahaya.
PSIKOLOGI
Gerak
dan sinar tidaklah berada bersama-sama dalam kasus benda-benda yang lebih
rendah. Sepotong batu misalnya, meskipun disinari dan karenanya terlihat, tidak
memiliki gerak yang dimulainya sendiri. Kategori-kategori material yang satu
dan yang banyak tidak dapat diterapkan kepada jiwa yang, dalam esensialnya,
tidak satu dan tidak pula banyak. Hubungan antara penerangan abstrak, atau
antara jiwa dan tubuh, bukanlah hubungan sebab akibat; ikatan kesatuan antara
mereka ialah cinta.
Tubuh
yang merindukan penerangan, melalui penerangan melalui jiwa. Tetapi jiwa tidak
dapat menyampaikan sinar yang diterima secara langsung itu kepada benda yang
padat dan gelap, karena memang berbeda antara jiwa dan tubuh. Agar terjadi
suatu hubungan satu sama lain, mereka itu memerlukan suatu media, sesuatu yang
berdiri di tengah antara terang dan gelap. Media ini ialah jiwa hewani, yaitu
suatu sap yang transparan, halus, dan panas, yang tempat utamanya di rongga
kiri jantung, namun beredar juga pada semua bagian tubuh.
Keidealan
manusia, ialah meningkat terus lebih tinggi dalam skala maujud, dan menerima
semakin banyak penerangan yang berangsur-angsur membawa kebebasan sempurna dari
dunia bentuk. Cara mewujudkan ideal manusia ini dengan berbagai pengetahuan dan
tindakan, yang mengubah pengertian dan kehendak. Secara singkat, sarana-sarana
pewujudan ini adalah:
1.
Pengetahuan
Masalah paling orisinil dalam psikologinya Suhrawardi mengenai inteleksi
ialah teorinya mengenai visi (penglihatan). Sinar yang diduga keluar dari mata
mestilah substansi atau kualitas. Jika kualitas, ia tidak dapat ditransmisikan
dari satu substansi (mata) kepada substansi lain (benda yang dapat dilihat).
Jika disisi lain, sinar itu substansi, maka ia bergerak secara sadar atau
secara dipaksa oleh sifatnya yang melekat. Gerakan yang sadar membuat seekor
binatang mempersepsi benda lain. Pemersepsi dalam hal ini adalah sinar itu
sendiri, bukan manusia.
2.
Tindakan
Manusia, sebagai makhluk yang aktif, mempunyai kekuatan-kekuatan penggerak
berikut:
A.
Akal atau jiwa Kemalaikatan, yaitu sumber intelegensi,
pembedaan, dan cinta pengetahuan.
B.
Jiwa binatang buas yang merupakan sumber amarah, keberanian,
dominasi, dan ambisi.
C.
Jiwa hewani yang merupakan sumber nafsu lapar, dan nafsu
seksual.
Yang pertama membawa kebijaksanaan: yang kedua dan ketiga, jika
dikendalikan oleh akal, masing-masing akan membawa kepada keberanian dan
kesucian. Penggunaan secara selaras semua itu menghasilkan keadilan. Maka itu,
dengan menggabungkan pengetahuan dan kebajikan, jiwa membebaskan dirinya dari
dunia kegelapan.
*)Resourced by: harja
saputra (2004)April 11,
2007 pada 2:04 am. dan berbagai buku referensi yang lupa saya catat :)
makalah ini disajikan pada matakuliah Filsafat Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar