Yang ada di benakku saat ini
hanya segera pulang dan bersiap-siap menjemput mentari pagiku, Ia pasti senang
sekali malam ini. Kemarin aku berjanji akan menemaninya jalan-jalan, esok akhir
pekan, aku sangat suka membuat kejutan kecil untuknya. Tak sabar rasanya
melihat senyum manjanya melihatku datang dengan kaos marun yang minggu lalu
sempat kami beli di Pasar Minggu. Fikiranku melanglang buana berlari
mendahuluiku pulang kerumah.
Aku kembali melamun menatap jendela,
diluar terlihat semburat kemuning senja begitu indah, pertanda malampun akan
menjemput bintang-bintang menghiasi langit. Hatiku berbunga memikirkan apa yang
sudah Aku rencanakan, Mentari pagiku pasti bahagia melihatku datang lagi malam ini.
Ini kali ketigaku mendatangi rumahnya setelah dua tahun kami tak bertemu. Sudah
ku susun pembicaraan apa saja yang nanti akan kubicarakan dengan Ayahnya atau adik
lelakinya yang menggemaskan itu. Mentari pagiku, aku tak sabar ingin bertemu
denganmu. Ku rebahkan kepalaku pada sandaran kursi, meregangkan otot-otot
kakiku yang kaku seharian ini bekerja.
“Sore bu” ku kecup kening Ibu
yang sedang menata kue di dapur
“Sudah pulang Le” Tole,
panggilan kesayangan Ibu untuk anak Laki-lakinya
“Mau kemana ? nanti malam tak usah
keluar dulu Le, keluarga dari Kadimangu mau datang. Sekarang mereka lagi
dirumah paklekmu, sudah mandi dulu kemudian lekas bantu Ibu menata Ruang tamu
agar sedikit lebih luas untuk duduk”
‘Deg’
Tak biasanya
intonasi bicara Ibu seperti ini. Hatiku gelisah menunggu malam. Bukan aku tidak
senang kedatangan saudara-saudaraku dari jauh, tapi malam ini aku telah
menyusun rencana indah untuk mentari pagiku. Meskipun Aku yakin Mentari Pagiku
pasti memaafkan Aku yang tak datang malam ini, membayangkanya Aku tidak tega
melihat lengkung busur dibibirnya yang cemberut. Aku ingin selalu melihatnya
tersenyum, aku tak ingin ia kecewa.
“Malam ini Ibu ingin kamu
menikah dengan Tri, anak Kemenakan Ibu yang buncit” Ucapan ibu setengah memohon
padaku. Bagai kilat di tengah siang menyambar ulu hatiku, tangan lembutnya
menaruh sekotak cincin kecil dipangkuanku. Tubuhku terbujur kaku seketika.
Bagaimana mungkin Ibu secepat ini memutuskan sesuatu yang akan menjadi jalan
hidupku. Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan orang yang tidak aku cintai.
Lidahku kelu tak bisa berucap sepatah katapun, ingin rasanya aku berlari menjauh
dari rumah ini. Aku tak bisa membantah perkataan Ibu, Aku tak tega melihatnya
memohon seperti itu.
“Le, Tri dan Ibunya sudah
melunasi semua hutang-hutangmu di Bank. Siang tadi orang Bank sudah yang ketiga
kalinya mendatangi rumah kita, mereka bilang rumah ini akan disita jika kita
tak segera melunasi hutang-hutang kita. Genduk Tri itu sudah tawadlu’ pada ibu,
dia menyerahkan semua hasil jerih payahnya di Hongkong untuk kita, untuk
melunasi semua hutang-hutang mu Le”
Bagaikan
tersengat ribuan Volt Ampere listrik aku terdiam, memutar otak untuk
menggagalkan rencana Ibu. Tapi pada akhirnya aku harus pasrah, baru satu minggu
aku bekerja di kantor yang baru. Tak ada jalan lain untuk ku menghindar,
lagipula, semua hutangku sudah di lunasinya. Aku tak mungkin bisa mengganti
secepat itu. Kepalaku pening, pandanganku kabur. Sudah kesekian kali Ibu
memaksaku menikah dengan Tri, tapi aku menolak karena aku punya mentari pagi
yang akan setia menemaniku. Kurasakan sesak didadaku semakin membuncah, aku
merasa lemah tak berdaya menghadapi permintaan Ibu kali ini. Sudah berkali-kali
aku berjanji pada Ibu akan segera melunasi hutang-hutangku di Bank.
Betapa sakitnya hati ini menghirup udara malam, langit tetap cerah dengan
gemintang yang menghiasinya. Bimbang ku timang-timang Handphone yang ada
ditanganku. Aku harus memberi Mentari Pagiku kabar, agar ia tidak cemas
menungguku. Aku gamang harus memulainya darimana, jika ku bilang langsung to
the point ia pasti menangis. Tak akan tega aku melihantnya menangis.
“Le, ayo cepat masuk” Kakak lelaki tertuaku memanggilku masuk, dengan
senyum yang mengembang disambutnya aku di ambang pintu. Ku hampiri ia dengan
tertunduk lesu.
“Jangan berwajah masam seperti itu Le, keluarga besan sudah menanti
didalam” sambutnya sambil merapihkan kerah jasku. Malam ini aku seperti
berjalan menuju altar kematian dengan iringan langkah kakiku sendiri. Hatiku
beku melangkah menghampiri penghulu yang sudah siap dengan Mahar yang Tadi sore
Ibu berikan. Bagaimana bisa aku menikah tanpa cinta dengan orang yang tidak
kukenal. Ya aku bukan tidak mengenalnya, tapi Ia bukan pilihan hatiku untuk
mencintainya. Sejak kecil bersama tak pernah sedikitpun terbersit dibenakku
untuk menikahi perempuan yang usianya setahun lebih tua dariku.
“Tidak perlu cinta untuk sebuah pernikahan Le, dulu Ibu dan Ayahmu juga
tidak saling cinta saat menikah dulu. Tapi kami saling bahagia dan saling
mencintai sampai ajal menjemputnya” nasihat Ibu tadi sore tetap tidak mampu
meredam kedongkolanku atas keputusan sepihak Ibu ini. Aku marah pada diriku
yang lemah tak berdaya, aku marah tak bisa mempertahankan cintaku pada Mentari
pagiku. Aku marah tak bisa membawanya menuju gerbang pernikahan. Aku marah
tidak bisa membawa Mentari Pagiku kehadapan penghulu seperti malam ini. Ku
simpan amarahku jauh dalam dasar jiwaku, aku tak ingin melihat Ibu sedih,
terlebih aku harus menjaga kondidi Ibu yang sudah sakit-sakitan. Aku tak ingin
melihat tubuh rentanya menanggung beban hidup karena ku tak kunjung
meng-iya-kan keinginan Ibu.
Seandainya Aku lebih berani seperti kakak, dulu ia juga menolak
dijodohkan dengan gadis pilihan Ibu dengan menghamili pacarnya. Andai aku bisa
menghamili Mentari Pagiku agar aku mempunyai alasan untuk membatalkan
perjodohan ini, andai aku tega menodai kepolosannya mungkin kini kita telah
bersanding bahagia di pelaminan ini. Kan ku genggam erat lembut jemarinya
diataas pelaminan ini, menunjukkan bahwa aku sangat mencintai Mentari pagiku.
Aku sangat mencintai ia sebagai pendamping hidupku. Ah seandainya dulu aku
berani menodainya. Aku pasti sudah bahagia dengannya bukan dengan wanita lain
pilihan Ibu yang dulu sempat dijodohkan dengan kakakku.
Dua bulan sudah aku tak mengabarinya, aku terlalu takut melihatnya
menangis. Aku terlalu takut membuatnya sedih, aku tidak tega melihat Mentari
Pagiku muram durja Karena kelemahanku yang tak mampu mempertahankan cinta kita.
Liyaa
Mahfudz